Jumat, 15 Juni 2012

KENANGAN ITU

“Abin.. Abin!!” pekik seorang perempuan kecil yang lucu dengan intonasi amat ceria dan menggemaskan.
“Main yuk! ” sahut Belinda dari seberang toko milik ibunya.

Dengan riang dan sorak celotehan yang tak bisa dipahami oleh orang dewasa, kami terus bermain dengan canda, tawa, sambil sesekali menggelitik geli. Tertawa penuh ekspresi tanpa mengerti apa yang lucu dari berlari-lari memutari pada toko-toko yang berjejer. Begitulah kebiasaan kami untuk menuangkan satu kata yang sangat kami dan teman-teman kami gemari. BERMAIN.
“Bel, coba liat ke cini deh! ” serunya sambil menarik ringan lenganku. Kali ini dia ambil sesuatu itu di atas telapak tangannya. Wajahnya berbinar senang sekali. Di sudut matanya ada secercah harapan sambil berekspresi polos namun tetap layaknya lelaki kecil yang lucu.
“Kenapa kamu masukin ke botol, Bin?” tanyaku ingin tahu, begitulah anak kecil. Selalu ingin tahu segalanya, semuanya, sampai terkadang ayah dan ibu lelah menjawab.
“Nanti mati loh. Kacian kalo mati.” sekali lagi aku ingatkan. Aku memang anak yang cerewet dan tak bisa diam, mungkin itulah aku di mata sahabatku ini.
Abin terus melakukannya dengan ekspresi serius. Dan ditutuplah botol yang berisi laba-laba, seekor hewan yang memiliki kemampuan membuat jaring-jaring tipis, dengan sedikit renggang.
“Nggak mungkin mati kok. Lagian aku nanti kalo udah becal pengen jadi spiderman yang bisa menolong banyak olang.” harapnya penuh kepolosan sambil terus menerawang sang laba-laba dalam botol.

Aku hanya tersenyum mendengarnya. Mendengarkan harapan yang aneh, karena aku tak pernah bertemu sebelumnya dengan spiderman yang berjuluk ‘Sang Penyelamat’. Setahuku itu hanya ada di TV yang biasa kami tonton sepulang sekolah.
“Coba kesiniin tanganmu!” Abin meraih sebelah tanganku dan meletakkan seekor laba-laba yang kini berjalan kecil-kecil di punggung tanganku. Aku meggerutu geli dan sedikit ketakutan.
“Abin... ambil cepet. Aku takut nih! ” pintaku ketakutan dengan memejamkan setengan bola mataku dan membukanya kembali. Laba-laba itu masih melekat di telapak tanganku.
“Jangan gelak-gelak dong! Bial dia gak jalan telus. Jangan takut, dia gak gigit kok.” bujuk Abin . Aku pun menurutinya. Aku takut sebenarnya, takut kalo masuk ke dalam bajuku. Tapi aku percaya dengan kata-kata Abin. Aku percaya dia karena kami bersahabat, sahabat baikku.
Ternyata benar. Setelah aku tenang, sang laba-labapun tidak lagi membuatku geli. Perlahan diambilnya dari tanganku dan dimasukkan dalam botol. Sang laba-laba tetap berjalan ke permukaan botol dan kembali ke dasar botol, begitu seterusnya. Dia masih terlihat gembira meski dalam botol hanyalah ada dirinya seekor.
Kami pun kembali belari-lari mengitari tanah lapang beraspal tanpa rumput. Aku berputar gembira entah karena apa. Mungkin karena hari ini aku mendapat pelajaran baru tentang kebenaniaan dan satu lagi, aku tahu impian Abin yang mungkin konyol di mata kita.

Dari tadi aku cerewet ya? (banget..) Kenalin aku Belinda, anak paling gak tahan kalau semenit aja nggak ngomong. Aku anak yang rajin karena keterpaksaan. Kakak ku lah yang membentukku menjadi anak rajin. Tapi aku tetap layaknya anak kecil lebih suka bermain dari pada belajar. Bermain dengan sahabat tergantengku. Ganteng, karena cuma dia satu-satunya teman cowokku. Abin namanya. Kami disatukan sejak umur 3 tahun. Bunda kami saling berteman, keduanya punya kegiatan yang sama, keduanya sama-sama memiliki 2 anak. Mungkin kita diciptakan dengan banyak kesamaan, juga dengan keluarga kami. Hidup itu menyenangkan sekali ternyata. Apalagi saat awal kami mengenal sekolah. Hari-hari di sekolah itu asyik.
“Bajumu kekecilan ya?” tanyaku nada mengejek. Yang sebenarnya bajunya sangat kebesaran.
“Ini seragam namanya, bukan baju!” jawabnya membelot. Mencoba memungkiri baju kebesarannya. Tubuh Abin ringkuh, terlalu baik untuk mengatakan kurus. Bahkan kulitnya seperti menempel di tulang, miriskan? Memang. Tapi jangan salah parasnya seperti cowok lain, ganteng.
“Kenapa keluar lagi? ” tanyaku melihat Abin keluar kelas. Ia tak menjawab.

Kuperhatikan sekeliling kelas yang berisi meja dan kursi yang ditata melingkar oleh ibu guru kami. Sepertinya aku tau apa yang membuatnya pergi.
“Masuk lagi Bin, tasnya Danu udah aku pindah kok. Ayo!” bujukku sambil menarik tangannya untuk berdiri.
Begitulah kami, selalu duduk bersebelahan tiap hari. Abin akan ngambek jika ada sebuah tas tergeletak di sampingku. Aku juga tak mengerti mengapa kita sangat dekat.

Lambat laun kita menjelma seperti magnet yang berkutub sama. Lingkungan lah yang membuat kita mengerti bahwa tak selamanya laki-laki dan perempuan boleh berteman sangat dekat.
Aku berhijrah ke kota untuk mengukuhkan ilmuku di salah satu sekolah berasrama. Sedikit demi sedikit memori masa kecilku mulai kuabaikan. Dengan teman baruku yang super seru.
Semuanya hilang. Waktu itu, masa yang dulu, sesosok itu aku pun seperti tak pernah melewatkannya. Belinda yang seperti saat inilah yang sangat kubenci. Tak akan boleh ku ulangi kesalahan ini.

“ Bel...” panggil seseorang dari belakangku membuyarkan aku yang sedang membereskan tas di toko ibuku.
“Minnal aidzin ya. Kosong-kosong ok?” lanjutnya saat aku setengah putar badan menghadapnya.
“Oh, he em iya. Sama-sama .” jawabku sangat kaku dan serasa jadi orang kikuk sedunia.
Diapun membentuk senyum di sudut pipinya seraya berjalan meninggalkanku. Yah! Abin jauh berbeda dari Abin yang dulu kukenal. Dia jauh lebih tinggi dari aku bahkan dari teman-temannya. Tapi perutnya masih saja kurus. Memori itu kembali padaku.

Di hari yang suci itu membuatku menyesal mengapa bukan aku yang mengucapkan maaf untuknya. Namun justru dia. Abin.

Memulai masa-masa yang ditunggu oleh anak remaja ternyata cukup membuatku kerepotan sekaligus menyenangkan. Kerepotan untuk beradaptasi dengan dunia remaja dengan warna warni fantasinya. Namun semua terasa menyenagkan karena kini aku bisa tumbuh dewasa dengan segala nikmat sehat oleh-Nya. Tidak sepertinya.

“ Mbak, masuk aja.. ngobrol di dalam” kata seorang laki-laki jangkung mengingatkan udara di balkon rumah sakit yang mulai panas.
“Assalamu’alaikum..” ucapku seraya masuk dalam kamar 305.

Kupandangi seisi ruangan yang lebih dari 5 orang teman yang menjenguknya. Dia pantas mendapat semua ini. Dia pantas disayang orang, diperhatikan orang yang menyayangi kebaikannnya.
“Apa kabar kamu? Maaf ya baru bisa kesini sekarang.”tanyaku penuh rasa bersalah.
“Kalau kamu tanya kabarku, aku hanya bisa jawab aku sedang dikasih Allah secuil rasa sayang-Nya buat aku. Nggak apa-apa, kamu pasti sibuk sekolah ya?” jawabnya ringan seperti menahan pucat yang menyimpan rasa sakit.
“Aku kemarin ke sekolahmu loh.” sambungnya beberapa saat kemudian.

Dia sangat terobsesi untuk masuk SMA sekarang aku berada. Sayang nasib tak berpihak padanya. Kami tak kembali disatukan di SMA yang sama.
“Temannya SMP ya?” tanya seorang teman laki-lakinya tiba-tiba.
“Bukan! Mbak ini dulu adalah teman masa kecil Abin. Katanya kalau mbaknya gak masuk sekolah karena sakit, Abinpun juga membelot tak masuk sekolah. Ya kan mbak?”sahut gadis berparas manis dari belakangku.
“Iya, begitulah. Konyol ya?” celetukku asal-asalan.
“Nggak konyol kok. Itulah arti kata sahabat. Sahabat emang harus seperti itu.” Jawab Abin dengan wajah sok bijaknya yang diiringi gelak tawa seisi ruangan.

Mulai saat itulah aku menyadari. Menyadari jika aku bukanlah sahabat yang baik untukmu. Menyadari betapa jahatnya aku yang dengan mudahnya melupakan persahabatan itu. Saat kau berupaya membuka memori masa lalu tentang kita pada teman-temanmu. Terima kasih telah melibatkanku dalam ceritamu bersama teman-teman yang kamu miliki.

Setelah operasi atas penyakit pada saat itu, Allah memilih berada disisi-Mu dan Allah juga memilih kau berada disisi-Nya. Sedangkan di sini kami juga merindukan sosokmu, sahabat.

Semoga kau tetap dalam pelukkan-Nya, dalam kasih sayang-Nya, dan tetap di hati kami, para sahabatmu.