Sesaat kemudian, Lia pun sudah kembali memasuki kelas dan langsung
menyambangi tempat duduknya.
Dan aku yang masih dengan kebingungan dan
alur kerja otak yang tak karuan, akhirnya mengambil sebuah keputusan.
“Lia…”, panggilku.
“Iya, kenapa is???”, jawabnya dengan ekspresi yang begitu riang.
“Mmmhh, i..ni aku mau balikin suratnya. Kayaknya, aku ga perlu tau deh
siapa cowo yang kamu suka.”, ucapku dengan sedikit terbata.
“Looh,,kok gitu? kan tadi Lia bilang pokoknya kamu harus tau..” jawabnya masih dengan ekspresi riangnya.
“Tapi maaf banget, aku yang ga mau tau, titik!” ucapku yang kali ini menghilangkan raut senang di wajahnya.
“Sekali lagi maaf.”, ucapku dalam hati.
Sekilas, rasa bersalahpun muncul
dibenakku, entah mengapa aku memberikan respon seperti itu. Meski aku
menyukainya, tapi aku benar-benar tidak tahu mengapa aku menolaknya
begitu saja. Huufftthh -,-
***
Semenjak kejadian itu, tak ada lagi aku yang begitu dekat dengan Lia.
Tak ada sapa riang yang setiap pagi terucap dariku untuknya.
Sebaliknya, rasa acuhlah yang justru menghiasi hari-hariku. Meski dia
masih terus berusaha untuk bersikap sebiasa mungkin, namun aku tidak
bisa bersikap seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa.
Semakin hari,
tanpa sadar aku semakin menjauhinya. Hingga suatu hari, ku dengar kabar
bahwa ada seorang kaka kelas yang menyukainya dan juga mengejarnya.
Awalnya aku tak khawatir, karena ini bukanlah kali pertama aku mendengar
kabar seperti itu. Tapi yang mengagetkanku adalah bahwa ternyata Lia
menanggapinya dan telah berpacaran dengannya.
Rasa sedih pun tak bisa ku
sembunyikan, namun..aku bisa apa??
Aku hanya bisa diam dan berusaha
untuk tidak memikirkannya. Karena, ini pilihanku, jadi aku tidak boleh
menyesalinya.
Benar saja, di hari-hari berikutnya, aku beberapa kali melihat mereka
berdua sedang bersama.
Aku pun hanya mencoba untuk terus mengacuhkannya,
berjalan seperti tidak melihat apa-apa.
Ya..aku bertahan dengan
hari-hari seperti itu. (Miris bukan??? *pikirku saat itu*)
Beberapa minggu sebelum hari kelulusan, sekolah kami mengadakan study
tour ke Puncak. Meski aku tidak satu bis dengan Lia, namun sempat
beberapa kali dia berjalan di belakangku. Tingkahnya masih belum
berubah, masih seperti Lia yang suka mencari perhatianku.
Saat itu, dia sudah tak bersama dengan kaka kelas yang waktu
itu, karena semenjak kaka kelas itu lulus, mereka sudah jarang
berkomunikasi dan akhirnya putus. Aku pun sudah mulai melunak, sudah
mulai mau membalas sapanya meski hanya dengan senyum.
Pokoknya, sebisa
mungkin aku berusaha untuk tidak mengacuhkannya. Dan aku pun bertekad,
pada saat kelulusan aku ingin minta maaf karena sudah begitu lama
mengabaikannya.
***
Akhirnya, hari kelulusan pun tiba. Tidak terasa, masa SMP yang rumit ini
akan segera berakhir. Dan aku pun sudah siap untuk menjalankan niatku
yang ingin menyampaikan maaf pada Lia. Aku tak ingin masa SMAku ini
berakhir dengan meninggalkan luka di hati siapapun, terutama Lia.
Aku
ingin semua ini berakhrir dengan bahagia. Namun, sudah hampir setengah
jalan acara ini berlangsung, aku belum menemukan sosoknya.
Sebenarnya
dia dimana???
Matakupun sedari tadi berusaha untuk menemukan sosoknya, namun nihil.
Sampai pada satu saat, dimana jantungku berdegup kencang, sesak sekali
rasanya. Seperti ada beban yang begitu berat yang menimpaku.
Akhirnya,
dengan nafas yang tersendat, mataku kembali melihat sekiling berharap
menemukan sumber keabnormalan hatiku ini. Matakupun terhenti pada satu
titik, dimana ada satu wajah dengan senyum yang begitu lembut sedang
menatapku.
Perlahan jantungkupun mulai kembali normal, tatapanku pun
perlahan naik hingga bertemu dengan mata pemilik wajah tersebut. Setelah
sadar siapa pemilik wajah tersebut, kerja jantungku kembali tak normal,
bahkan lebih parah dari sebelumnya, akupun seketika memalingkan
wajahku.
Ya..pemilik senyum itu adalah Lia! Ternyata dia sang pemilik
senyum itu.
Huuu…haaaa…aku mencoba mengatur nafas kembali, dan disaat
aku sudah dapat mengontrol ritme jantungku, aku pun kembali berpaling ke
titik dimana Lia menatapku. Tapi, sosoknya menghilang, aku mencari ke
sekeliling, tetap tak ada!
Bahkan sampai aku pulang.
Tidak...!!! Bahkan
sampai hari-hari berikutnya aku tidak pernah melihatnya lagi. Sampai
satu hari, aku mendengar kabar bahwa pada hari kelulusan itu adalah hari
terakhirnya berada disini. Dia datang hanya untuk pamit karena hari itu
juga dia langsung berangkat ke kampung halamannya dan melanjutkan kuliah disana.
Beberapa hari kemudian datang temanku memberikan sebuah kertas.
"Bukankah kertas ini yang telah diberikan Lia dulu?" bisikku dalam hati.
Aku pun membaca surat itu dengan seksama.
"Kamu adalah laki-laki yang aku suka sejak pertama aku masuk sekolah
ini, perasaanku pun sama sampai sekarang. Aku harap kamu mempunyai
perasaan yang sama, dan aku menunggu kamu"
Begitulah isi dari surat itu.
Jlebbbb!!!!
Seketika itu juga tubuhku melemas, aku menyesal sangat
menyesal. dengan beribu pertanyaan yang bertubi-tubi menghantam
pikiranku!!
Kenapa??? Kenapa saat itu aku memalingkan wajah? Kenapa aku
tidak menghampirinya?? Bukankah aku ingin meminta maaf??
Lia.... maaf.
Aku pasti datang.....
Tidak merasa lebih baik atau benar, dan bukan mengajarkan. Tak lebih dari mengingatkan pada diri sendiri dan sekitar. Berbagi pelajaran kecil, motivasi, dan cerita yang terinspirasi dari pengalaman, kegiatan, peristiwa, ataupun kejadian-kejadian yang dialami oleh orang-orang disekitar. Bismillah, semoga bermanfaat.....