Sabtu, 26 Juli 2014

Datang

Kalau kamu datang
Aku berjanji tidak akan bertanya kenapa baru sekarang
Kalau kamu datang
Aku berjanji tidak akan membuatmu berdiri di depan pintu terlalu lama
Kalau kamu datang
Aku berjanji tidak akan bertanya
Hati mana saja yang sudah kau lewati untuk sampai di sini
Karena dengan langkahmu aku terbangun
Dari mati suri yang kunina-bobokan sendiri
Kalau kamu datang
Tolong jangan pergi
Aku lelah menjaga pintu
Kalau kamu datang
Aku berani sumpah, aku tenang...

Cinta Berlogika

Jangan terlalu dikejar
Nanti kamu kelelahan
Jika menurutnya kamu adalah prioritasnya
Tanpa kamu bertanya dia pasti akan mengabarimu
Jika benar dia mencintaimu
Dia akan menjaga perasaanmu
Tenang saja.... Jika dia milikmu
Dia akan sadar dengan apa yang harus dia lakukan
Jika dia tidak melakukan itu semua
Kamu pun harus sadar dengan apa yang harus kamu lakukan
Cinta tak dilarang
Tapi tetap gunakanlah sedikit logika

Jumat, 25 Juli 2014

Tidak Ada Menara Yang Dibangun Dalam Satu Malam

Suatu pagi yang cerah seorang petani berjalan melintasi perkebunan. Petani melihat banyak tanaman tetangganya telah tumbuh cukup tinggi. Lalu teringat bahwa tanamannya sendiri masih kecil pertumbuhannya. Agar tinggi tanamannya bisa menyamai milik tetangganya, sang petani menarik batang tanamannya ke atas satu demi satu hingga tampak lebih tinggi dari yang lain. Lega dan bangga petani tersebut melihat karyanya yang dianggap luar biasa. Tetapi keesokan harinya, bencana menghampiri sang petani, semua tanamannya layu dan mati.

Pada masa kini seringkali saya jumpai banyak orang dengan segala cara ingin melampaui hasil yang dicapai orang lain. Seorang pelajar karena ingin mendapat nilai tertinggi akhirnya menyontek dengan cara yang super canggih, seorang penjual ingin mendapatkan keuntungan sebesar mungkin dengan cara ‘menipu’ konsumen, seorang leader networker ingin mencapai posisi puncak dengan menyabotase jaringan temannya sendiri, seorang supervisor ingin dipromosikan dengan cara menfitnah atasannya sendiri, seorang ingin cepat dikenal dengan mencopy karya orang lain secara mentah-mentah, dan sebagainya. Salah jadi benar dan benar jadi salah.

Ketenaran, kekayaan, jabatan, penghargaan seringkali membuat orang lupa diri, serakah dan ujung-ujungnya menghalalkan segala cara demi mencapai ambisinya. Benarkah dengan cara seperti itu akan memperoleh sukses sejati yang penuh kebahagiaan?
Barang siapa menabur angin, ia akan menuai badai. Barang siapa menabur kejahatan, ia pun akan menerima hasil buruk yang berlipat ganda. Hukum alam bekerja secara netral. Jika anda ciptakan sebab yang baik, akibat baik yang berlipat ganda pun akan anda dapatkan.
Banyak bisnis pada masa kini menawarkan jalan pintas meraih kekayaan berlimpah. Di media-media, terutama internet, saya menerima banyak sekali iklan penawaran cara kaya dalam waktu singkat. Hampir setiap bulan, saya membaca penawaran dari berbagai bisnis Network Marketing, mereka menawarkan menjadi milyader hanya dalam hitungan bulan, bahkan dalam hitungan minggu. Kenyataannya yang sukses bisa dihitung dengan jari.

Benarkah ada Sukses Instan? Apakah benar-benar ada jalan pintas mencapai sukses ? Saya balik bertanya, apakah ada anak manusia yang bisa lahir sempurna dalam 1 hari, 1 minggu, 1 bulan? Adakah menara kokoh yang bisa dibangun dalam satu malam? Jika jawabannya tidak ada, demikian juga kesuksesan tak ada yang instan.

Alam semesta begitu sempurna dengan hukum-hukum alam yang begitu teratur. Segala sesuatu di alam ini mempunyai siklus dan waktu untuk tumbuh berkembang menjadi sempurna. Kalau anda benar – benar ingin mempraktekan rahasia sukses , pembelajaran yang paling mudah bisa anda dapatkan pada cara kerja seorang petani. Bagaimana seorang petani mulai dari mengolah lahan hingga panen raya, itulah konsep berpikir yang harus anda praktekkan. Ada lahan yang subur, bibit yang unggul, air, matahari, pupuk, perawatan secara konsisten, cuaca yang sesuai, musim yang sesuai dan lainnya. Jika semua itu serasi dan seimbang, maka akan terjadi panen raya. Hal yang sama juga terjadi dalam kehidupan nyata, Jika semua faktor kesuksesan telah dijalankan secara benar, pasti kesuksesan Sejati akan anda peroleh.

Rabu, 02 Juli 2014

LOVE IN HEART

“Kau terindah kan selalu terindah….”, Sebuah lagu dari Armada Band membangunkan Tian dari tidurnya yang singkat. Ternyata adalah bunyi alarm yang ter-setting pada handphone milik Tian. Diliriknya jam tangan yang melingkar dipergelangan tangannya yang menunjukkan pukul 04.30 dini hari. Meski dengan mata yang berat, Tian berdiri menuju kamar mandi untuk mencuci muka sembari menunggu adzan dikumandangkan.  Siapapun yang mengenalnya dulu pasti tidak percaya dengan dirinya yang sekarang. Predikat nakal, bengal, keras kepala, dan temperamental melekat didirinya selama bertahun-tahun saat masih duduk dibangku sekolahan. Kini yang terlihat adalah Tian yang sopan, ramah, taat ibadah, dan pekerja keras . Entah sudah berapa hempasan ombak kehidupan yang  menghantamnya sehingga ia bisa berubah 360 derajat seperti ini.

Selesainya ia dari sholatnya, Tian mengambil sebuah notebook putih dari dalam ranselnya. Dinyalakannya dan tak lama kemudian terlihat gabungan foto-foto yang dijadikannya wallpaper di notebooknya. Itu adalah foto-foto Aini, seorang wanita yang sudah banyak membuat hari-hari Tian lebih berwarna. Meski masih dalam hitungan bulan ketika Tian mengenal Aini, tapi kekuatan cinta yang ia miliki sangat besar terhadap wanita itu. Meski Tian menyadari tidak ada setitikpun balasan atas apa yang dirasakannya, tapi tak satu detikpun  Tian tak mengingat Aini. Doa, keikhlasan, dan ketulusan selalu menjadi bukti kekuatan cinta Tian kepada Aini. Didalam sujudnya, sebelum tidurnya, dan sebelum memulai segala aktifitasnya, selalu disenandungkannya doa untuk kebahagiaan Aini.

Tian mulai memainkan jemarinya diatas keyboard notebooknya, ia sedang membuat tulisan untuk di posting pada blog yang ia miliki. Tian memang memiliki hobby yang cukup menarik, ia hobby menulis. Entah sudah berapa postingan, karya tulis, cerpen, novel, biografi yang sudah ia buat. Terutama setelah mengenal Aini, hampir semua postingan terbarunya selalu terinspirasi dan menceritakan Aini. Cukup lama ia sendiri dan tak terketuk pintu hatinya oleh wanita lain setelah ditinggalkan oleh mantan kekasihnya. Dan kini Aini sudah berhasil mendobrak dan bersarang di dalam hati Tian.

Tak sering Tian dapat bertemu dengan Aini, tak banyak waktu yang ia habiskan bersama, tak banyak momen yang Tian ciptakan bersama Aini. Kecuali ada tugas dari pemerintahan atau acara-acara yang menugaskan mereka berdua. Karena awal mereka bertemu pun adalah di salah satu event pemilihan bergengsi yang diselenggarakan oleh pemerintah setiap tahunnya. Dan pada ajang pemilihan itu, Tian dan Aini memang menjadi sebuah pasangan karena telah berhasil mendapatkan predikat yang sama. Meski jarang bertemu, tak surut jua cinta yang dimiliki Tian kepada sigadis mungil itu, justru semakin hari semakin besar cinta dan rindu yang dirasakannya.  Disetiap pertemuannya dengan Aini, Tian lebih banyak memperhatikan daripada berkomunikasi dengan Aini. Itulah titik permasalahan yang dihadapi oleh Tian. Ada rasa takut, malu, gugup, dan deg-degan. Meski dulu hal serupa pernah ia alami seperti ini, tapi tak pernah ia merasakan kekuatan hati yang sehebat ini. Jadi wajar saja bila sampai detik ini perasaannya tak kunjung tersampaikan kepada Aini. Sudah tak terhitung lagi saran, masukkan, semangat, motivasi dan dorongan dari teman-teman Tian agar ia segera mengungkapkan semua isi hatinya. Menurut mereka, entah apapun respon yang diberikan Aini nanti itu adalah hal belakangan. Tapi Tian punya prinsip lain dipermasalahannya kali ini yang tak seorangpun mampu merubahnya. Tian tahu bahwa Aini adalah tipe wanita yang tak mudah jatuh hati dan percaya kepada seorang pria. Ia pernah disakiti, bahkan dikhianati oleh kekasihnya dulu. Oleh karenanya Tian tak ingin mengungkapkan isi hatinya terlebih dahulu, karena ia yakin Aini tidak akan percaya dengan apa yang diungkapkannya. Tian hanya berharap suatu saat nanti Tuhan akan menunjukkan. Dan dengan sendirinya Aini akan menyadari bahwa perasaan yang dimiliki Tian benar-benar tulus kepadanya. Yaaa…. Suatu harapan yang mentergantungkannya kepada waktu untuk bisa terjawab.

*****

Hari demi hari berganti, bulan demi bulan telah berlalu. Masih tentang Aini, masih sama seperti yang dirasakannya dahulu, tak berkurang, bahkan semakin besar dan kuat, kecuali fisiknya kini. Atelektasis yang di idapnya setahun belakangan ini sudah semakin parah. Terus menggerogoti dan merusak fungsi paru-parunya. Pola hidup yang kurang sehat dahulu menjadi penyebab timbulnya penyakit itu. Tak ada rasa penyesalan dan kesedihan yang dilontarkan Tian kepada siapapun. Dengan waktu yang masih Tuhan berikan untuknya, Tian berusaha sebaik mungkin memberikan yang terbaik untuk orang-orang disekitarnya termasuk Aini. Sekalipun Tian sadar, tidaklah sempat ia melakukan itu semua apalagi untuk menggenggam tangan Aini dan mengatakan yang sejujurnya tentang perasaannya.

Sudah tiga hari terakhir Tian terbaring tak berdaya di rumah sakit. Empat selang sekaligus terpasang dihidung, mulut, dan tangannya. Matanya terpejam, tangan kirinya mengepal memegang sesuatu, dan tangan kananya terpapah pada sebuah besi pembatas tempat tidur. Hanya ada airmata yang selalu membasahi pipi Ibunya bila melihat keadaan anaknya yang sudah kritis dan tak sadarkan diri. Satu-satunya orang lain diluar keluarga yang mengetahui kedaan Tian adalah Tyo. Tyo adalah teman terbaik yang Tian miliki, ada banyak hal yang Tyo tahu tentang kehidupan Tian. Dan memang Tian lebih banyak menceritakan permasalahan hidupnya kepada Tyo. Setiap hal yang diceritakannya, ia selalu meminta agar Tyo merahasiakannya dan tidak menceritakannya kepada siapapun terutama tentang penyakitnya. Sudah tiga hari berturut-turut semenjak Tian masuk rumah sakit, Tyo selalu datang untuk menjenguk. Terlihat ada kesedihan yang terlukis diwajah Tyo. Karena sehari sebelum Tian terbaring di rumah sakit, Tyo sempat bersiteru dengan Tian. Tyo yang pada malam itu menghampiri Tian di dermaga, tiba-tiba dengan emosinya langsung berteriak kepada Tian.
“Kamu mau sampai kapan begini terus, Hahhh?”
“Sampai kamu harus kumat lagi dengan penyakitmu, dengan darah yang berceceran, terus kamu koma, kamu mati, baru kamu mau bilang semuanya???”
“Sampai kapan kamu nyimpan perasaan kamu sendiri Yan? Itu bakal makin nyiksa diri kamu sendiri !!”
“JAAAWWAAABBBB YAANN……!!!!”
          Teriakannya sangat jelas terdengar mengalahkan suara rintik hujan yang begitu deras dan petir yang bersahut-sahutan. Tian hanya duduk terpaku, tak bersuara,  memejamkan matanya dan menengadahkan kepalanya menatap ke langit seakan ia sedang menikmati tetes hujan yang terus membasahi dirinya. Merasa tak diherani, emosi Tyo semakin menjadi. Kembali ia meneriaki dan mengguncang tubuh Tian dengan kerasnya.
“Yaann…. Sadar Yan!! Aini nggak akan pernah tahu kalau kamu cuma bisa diam kaya orang bego seperti ini !!! Dia nggak akan pernah tahu Yan….”

          Dengan sigap Tian langsung berdiri dan menatap tajam kearah Tyo. Dengan telunjuk yang diacungkannya kewajah Tyo, Tian pun membalas teriakan Tyo dengan emosi dan airmata yang sudah tersamarkan oleh hujan.
“ Aini nggak bego, suatu saat nanti dia pasti tahu… aku yakin itu Yoo!!!”
“Dan aku percaya, TUHAN NGGAK TIDUR, TUHAN NGGAK BUTA, TUHAN MENDENGAR YOOO…!! Sekalipun nanti bukan aku yang mengatakannya sendiri, aku yakin Tuhan akan bantu aku dan menunjukkannya ke Aini!!!

          Tian pergi begitu saja meninggalkan Tyo yang kali ini justru tak mampu bersuara. Ia mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan tinggi dan menyusuri hujan yang tak kunjung reda. Sedangkan Tyo hanya berdiri mematung dan menundukkan kepalanya, ada rasa penyesalan yang dirasakannya karena harus meluapkan emosinya kepada Tian. Itu adalah kali pertama mereka bertengkar setelah sekian lama bersahabat.

“Permisi ya Bu saya pamit dulu, harus lanjut kerja lagi soalnya…”, Tyo yang sedari pagi sudah berada di rumah sakit kini pamit pada Ibunya Tian.
“Makasih ya Tyo udah ngeluangin waktunya beberapa hari ini….”, Sahut ibunya Tian.
“Sama-sama buu…”, jawab Tyo sembari membuka pintu dan keluar dari ruangan ICU.

          Betapa kagetnya Tyo ketika baru saja keluar dari ruang ICU, tepat berdiri dihadapannya seorang gadis cantik bertubuh mungil, berambut panjang dan terurai, berkaos oblong putih biru, celana jeans biru muda dan menggunakan sepatu kets berwarna pink kombinasi dengan abu-abu.
“Aini….”, gumam Tyo dalam hati.
“Sedang apa dia disini? Apa dia tahu kalo Tian masuk rumah sakit? Apa dia ingin menjenguk Tian?”, banyak pertanyaan yang menyelinap dikepala Tyo. Tyo hanya terdiam tak mampu berkata dan terus memperhatikan Aini.
“Ka Tyo ngapain disini?”, Tanya Aini.
“Emmmm…. Ngga papa, habis jenguk temen tadi sakit”, sahut Tyo asal.
“Oke deh kak, aku juga mau ngeliatin adikku dulu ya. Dia barusan dibawa Ibu, demamnya tinggi banget”.
“Ohh iyaa, aku juga mau balik ke kantor dulu. Cepat sembuh ya buat adiknya… salam buat ibunya!!”

          Aini hanya mengangguk dan tersenyum lalu segera meninggalkan Tyo yang terus menatapnya sampai ia masuk kesebuah ruangan paling ujung di koridor lantai 4 rumah sakit. Dan Tyo pun akhirnya berlalu menuju lift untuk turun kebawah dan pergi meninggalkan rumah sakit.

          Pukul 16.30 suasana rumah sakit tak seramai tadi pagi, mungkin karena jam besuk pertama sudah ditutup. Tapi terkhusus lantai 4 rumah sakit ini, suasana masih belum berubah. Hiruk pikuk para keluarga pasien, raut kesedihan, kepanikan, bahkan beberapa menit yang lalu jerit histeris dan airmata terjadi ditempat ini. Karena salah satu pasien dari ruang ICU telah menghembuskan nafas terakhirnya. Meski kita semua tahu bahwa setiap insan yang hidup didunia ini pasti akan mengalami hal yang sama, tetaplah ia akan memberikan rasa kesedihan bagi keluarga yang ditinggalkan.

          Aini kini agak sedikit tenang dengan kondisi adiknya yang sudah mulai menurun demamnya. Ia keluar beriringan bersama Ibu dan adiknya beserta dua orang perawat yang akan membawa adiknya untuk dipindahkan ke ruang rawat inap di lantai dua. Aini berjalan pelan menyeimbangkan langkah kaki para perawat yang berjalan didepannya. Tiba-tiba salah seorang perawat menghentikan langkah kakinya tepat didepan pintu ruangan ICU.

“Sebentar yaa bu, ada yang ketinggalan diruangan tadi”, ucap salah seorang perawat.
Aini dan ibunya pun ikut menghentikan langkah kakinya menunggu perawat tadi yang kembali ke ruangan UGD. Spontan Aini teringat dengan kejadian tadi pagi, dimana ia bertemu dengan Tyo persis ditempat ini. Matanya terbelalak seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya ketika ia memalingkan kepalanya kekanan. Posisinya yang sejajar dengan seseorang yang terbaring diatas ranjang dan selang oksigen yang terpasang dihidungnya itu membuatnya cukup jelas melihat apa yang ada didalam ruangan tersebut meski ia hanya melihatnya dari luar ruangan.

“Kak Tian…..?”, tanyanya dalam hati.
Ia mengernyitkan dahinya dan menatap tajam kearah kaca yang terdapat dipintu masuk ruang ICU. Masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya, ia mendekatkan dirinya ke pintu dan mencoba untuk memperjelas pandangannya jauh kedalam ruangan.
“Astaghfirullah…. Kak Tian….”
Aini serontak masuk kedalam ruangan ICU. Ruangan itu begitu sepi dan hening bahkan hanya ada beberapa orang saja didalamnya. Segera dengan cepatnya ia menghampiri sosok yang dilihatnya tadi. Ia melihat Tian yang terbaring dengan bermacam selang yang dipasangkan ditubuhnya. Aini menutup mulutnya dengan kedua tangannya karena sama sekali tak menyangka siapa yang ada dihadapannya kini. Aini pun masih merasa bahwa ini adalah mimpi, sampai ia tersadar bahwa ia memang sudah lama sekali tak melihat Tian ataupun hanya sekedar mendengar kabarnya.

“Assalamualaikum..…” Terdengar suara seorang pria dari arah pintu ruang ICU.
Ternyata adalah suara Tyo yang kembali kerumah sakit sepulangnya ia dari kantor. Betapa terkejutnya ia melihat Aini yang berdiri dihadapannya. Aini memalingkan wajahnya pelan dan menatap dingin ke arah Tyo. Tyo yang merasa bersalah hanya menundukkan kepalanya dan tak berani bersuara. Sesaat Tyo memberanikan diri untuk mendekati Aini.

“Maaf aku nggak bilang tadi, tapi ini permintaan Tian untuk tidak memberitahu siapapun”, ucap Tyo dengan nada pelan dan lirih.
“Tian nggak mau orang lain tahu kalau dia sakit, dia nggak mau orang sedih ngeliat kondisinya dia”.
“Dulu Tian pernah bilang, kalau Tuhan itu menciptakan dia untuk membahagiakan orang-orang disekitarnya bukan untuk membuat mereka sedih”.
“Apalagi kalau itu kamu, dia bakal jadi orang yang paling merasa bersalah kalau tahu kamu yang bersedih. Sekalipun Tian berharap banget kamu ada disampingnya sekarang”.

Aini tak mampu membuka mulutnya dan berkata apa-apa setelah mendengar apa yang diucapkan oleh Tyo barusan. Tanpa disadari, ada tetesan air mata yang jatuh dari bola matanya yang sangat indah itu. Aini lalu beranjak mendekat ke arah Tian dan duduk disebuah kursi yang terletak disebelah kiri Tian. Ada rasa kegelisahan yang menyelimuti hati Aini, ada ketidakmengertian yang dirasakannya ketika ia tahu bahwa dirinyalah yang diharapkan Tian untuk berada didekatnya, ada rasa penyesalan kenapa ia baru mengetahui kondisi Tian sekarang. Aini pun memberanikan diri untuk memegang telapak tangan Tian yang mengepal lemah. Diselipkannya secara perlahan jari tangannya diantara jari-jari tangan Tian. Aini menggenggam tangan Tian begitu eratnya seakan tak ingin terlepaskan. Aini merasakan seperti ada sebuah kertas yang tergumpal dan menengahi telapak tangan mereka. Disisi yang berlawanan, terlihat ada airmata yang mengalir jatuh dari mata Tian. Rupanya ia tidak tidur, ia mendengar, dan ia merasakan jelas kehangatan atas genggaman yang diberikan oleh Aini. Ingin sekali ia membuka matanya, menatap Aini dan mengucapkan terima kasih untuk kehadirannnya pada saat ini. Sayang Tian tak mempunyai kekuatan yang cukup untuk melakukan itu semua.

“Assalamualaikum….”, kembali terdengar salam dari arah pintu yang ternyata adalah ibunya Tian.
“Ehhh ada nak Tyo… udah lama disini?
“Loohh… ada nak Aini juga yaa…? Sahut ibu itu lagi.
Tyo hanya tersenyum dan mengangguk pelan, sedangkan Aini harus terkejutkan dengan kedatangan ibunya Tian, namun dengan gesitnya ia sempat mengelap airmatanya yang memang sudah mulai mengering. Dengan kepala yang tertunduk dalam sekejap ia juga melepaskan genggamannya pada tangan Tian. Aini sedikit bingung karena Ibunya Tian bisa mengenali dirinya padahal ini adalah kali pertama mereka bertatap muka. Yaaa… Tian sering menceritakan wanita yang dipujanya ini kepada ibunya. Bahkan ibunya pun mengetahui bahwa putranya sangat mencintai wanita ini.

“Hmmm…. Saya permisi keluar dulu ya bu soalnya adik saya juga lagi dirawat dirumah sakit ini”, Aini langsung berpamitan kepada ibunya Tian karena merasa agak sedikit canggung dan sungkan.
“Iyaaa…. Salam ya buat ibunya Aini!!!”
Aini hanya tersenyum dan langsung beranjak dari tempat duduknya meninggalkan Tian yang masih sangat ingin bersamanya.


                                        *****

          Aini sedang beristirahat dikamarnya, sejak sore tadi ia sudah pulang dari rumah sakit karena harus menyelesaikan pekerjaan dirumahnya. Dilihatnya jam yang tertempel didinding kamarnya sudah menunjukkan pukul delapan lebih tiga puluh delapan menit.Ia harus segera bersiap-siap kembali kerumah sakit dan bergantian dengan ibunya untuk menjaga adiknya.

          Sesampainya dirumah sakit ia tak langsung menuju keruangan dimana adiknya dirawat. Ia menyempatkan naik ke lantai 4 untuk melihat keadaan Tian. Dalam hitungan menit, Aini sudah berada dilantai empat dan dari kejauhan dilihatnya sekerumunan orang sedang berkumpul didepan pintu ruang ICU sambil berpelukan dan menangis.

“Ada apa ini?”, tanyanya dalam hati.
Ia terus berjalan menuju ruang ICU, kini dilihatnya sesosok wanita renta yang memiliki tinggi hampir seperti dirinya sedang duduk dan menangis.
“Ini ibunya Kak Tian”, fikirnya dalam hati.
“Apa yang sudah terjadi disini?”, tanyanya lagi dalam hati.
          Ia memperhatikan sekelilingnya dan melihat Tyo yang sedang duduk dilantai ujung koridor sambil mengangkat rambut dengan kedua tangannya. Dengan setengah berlari, ia pun langsung menghampiri Tyo. Belum sempat Aini bertanya, Tyo terlebih dahulu menumpahkan airmatanya yang sudah tak kuasa ia bendung lagi. Tyo yang menangis terisak-isak pun tak mampu bersuara dan menjelaskan apa yang sebenarnya tengah terjadi. Aini semakin panik melihat Tyo yang terus menangis. Ia pun nekat untuk masuk kedalam ruang ICU dan ingin membuktikan dengan mata kepalanya sendiri apa yang sedang terjadi.

          Aini terdiam, terpaku, membisu, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sekujur tubuhnya bergetar, nafasnya begitu sesak, dan seperti ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya sehingga membuatnya tak mampu bersuara. Satu persatu airmatanya pun mulai menetes….
“Kak Tiaaan……”, suaranya begitu parau dan lirih sampai hampir tak terdengar lagi apa yang diucapkannya. Ia melihat kain putih besar yang terhampar menutupi seseorang dibawahnya. Dan Aini tahu persis itu adalah tempat tidur Tian. Spontan tubuh Aini terasa begitu lemas, kepalanya pun terasa sangat pening, dan dengan airmata yang terus mengalir kepipinya, ia pun tak kuasa menahan berat badannya dan tersungkur di dinding ruangan.

          Kini Tian telah kembali kepelukan sang pencipta. MeninggaIkan dunia, ibunya, keluarganya, teman-temannya dan meninggalkan wanita yang begitu disayanginya. Meski banyak yang harus ia tinggalkan, meski masih banyak yang belum ia selesaikan, meski ia harus mempertanggungjawabkan ratusan airmata yang jatuh karenanya, tapi inilah janji Tian kepada sang pencipta yang harus kembali diusianya yang masih teramat muda.

          Keesokan hari selesainya Sholat Dzuhur, Tian akan dimakamkan disebelah makam Ayahnya yang  terlebih dahulu meninggalkan dunia ini 2 tahun yang lalu. Tempat pemakaman seketika ramai dipenuhi para keluarga, sahabat, dan tetangga yang ingin menghantar kepergian Tian. Nampak Aini yang ikut menaburkan bunga sebagai tanda perpisahannya kepada Tian. Mulutnya tak henti membacakan istighfar, dzikir, dan shalawat untuk Tian. Semua nampak merasa kehilangan akan sosok Tian yang dinilai periang, lucu, dan selalu bersemangat. 

          Kini semua yang hadir pada pemakaman itu mulai beranjak pergi satu persatu termasuk Aini. Tiba-tiba saja saat ingin menuju ke parkiran, Aini teringingat pada sebuah kertas yang sempat ia ambil dari tangan Tian sewaktu dirumah sakit. Ia masih menyimpannya didalam tasnya. Dicarinya, dibuka, dan dibacanya seksama. Matanya berlinang dipenuhi airmata. Tak kuasa ia menahannya lagi. Ia berlari dan kembali ke tempat peristirahatan Tian. Dielusnya nisan kayu yang menuliskan nama Tian. Aini tersenyum perih dan terus menangis setelah membaca tulisan yang tertera di kertas itu tadi.


" Aku bukanlah pria yang memiliki keberanian seperti mereka
Dan aku tak semudah mereka untuk mengaku bahwa aku cinta
Kuyakinkan dalam hati, Tuhan pasti akan menyampaikan ini padamu

Maafkan bila aku terlalu kecil untuk berani mencoba masuk dihidupmu
Meski aku hanya berusaha, berdoa, tanpa harus memintamu
Aku sudah berjanji pada kuasa untuk terus menjagamu dimanapun aku berada
Bila aku harus kembali kepelukannya, kupastikan akan tetap kupenuhi janjiku…


Tak ada yang lebih indah kurasakan selain nikmat dari Tuhan untuk bisa mencintai dirimu Aini…."