Rabu, 15 Januari 2014

Aku Dan Mereka

Pagi ini perasaanku sangat bahagia dan bersemangat, rasanya ingin tiba di sekolah dengan segera. Bagaimana tidak, kejutan demi kejutan membuat pagiku begitu ditemani banyak bunga-bunga, hal itu tentu membuat aku sangat berbeda, mulai dari bertemu teman SD, satu sekolah sama pacar dan bertemu dengan teman baru yang gokil.
Kurang lebih setengah jam kuhabiskan di depan kaca untuk berdandan secantik mungkin sebelum bergegas ke sekolah dengan sepeda kendaraan kesayanganku, Memang kendaraan yang satu ini tidak bisa dikendarai dengan gratis, setiap harinya minimal aku harus mengeluarkan budget Rp 5.000 untuk membeli bensin. Dialah Suzuki Shogun andalanku yang menjadi tungganganku selama ini.
Sepanjang perjalanan aku bernyanyi dan bersuka ria penuh semangat membayangkan akan hal-hal menyenangkan seperti bertemu teman-teman baru dan sang pujangga hati ku, Andi. Setelah beberapa menit kemudian, akhirnya aku sampai di sekolah. Jarak antara sekolah dan rumahku tidak begitu jauh jadi, hanya butuh waktu 10 sampai 15 menit untuk sampai di sekolah.
“Sial! Lari nggak pake mata apa ya.. gue gorok masuk neraka loh.” Rutuk Lia. Dengan wajah masam ia mulai jongkok untuk merapikan buku-buku yang terjatuh. Spontan aku langsung membantu Dahlia memungut buku buku yang tergeletak di lantai.
“Kasihan banget. Bukunya jatuh semua ya” candaku dengan senyum manisku. Sejenak Lia berhenti merapikan buku-buku, ia mencoba mencari orang yang berani menabraknya. Ternyata dia lagi. Cowok berpostur tinggi, putih yang akrab disapa Ryan. Aku tau Lia benci banget sama cowok itu, Mungkin seumur hidup Lia nggak bakal bersikap baik sama cowok itu.
Mengingat buku ini harus diantar ke ruangan Ibu Evha, guru mata pelajaran matematika yang cantik tapi super duper jutek, kami harus cepat-cepat merapikan buku yang tercecer di lantai, lalu segera membawanya.
“Sudahlah Lia, sabar yah, nanti juga lama-lama kepincut sama kamu. Hehehe”. candaku lagi sambil merangkul bahunya.
“Idiih, cuiihhh amit-amit deh, gak mungkin juga gue mau sama cowok dekil, kumal dan jarang sikat gigi itu, ichhh.” Jawab Lia dengan ekspresi jijay nya.
“Yuuu..!!!”
Aku menoleh untuk melihat siapa yang memanggilku. Ternyata dari kejauhan Rina temanku sejak SD sedang berlari ke arahku.
“Woyyy non, budeg ya? Nggak denger teriakan gue. Temen macem apaan yang nggak nyaut sapaan temennya sendiri.” ucap Rina dengan bibir monyong. Ciri khas cewek kulit putih tersebut kalau lagi ngambek.
“Sorry deh na’. Gue lagi sibuk ngehibur cewek yang lagi bad mood ini”. Sambil melirik ke arah Lia yang memasang tampang cemberut.
“Bad mood? Kenapa?” tanya Rina bengong.
Si Yellow tooth yang jelek itu lagi-lagi cari perkara sama aku.
Sejenak Rina terdiam, lalu perlahan bibirnya tersenyum tipis. “Kenapa sih kalian berdua selalu berantem? Mungkin gak sih si Rian suka sama loe tapi dia gengsi dan Cuma bisa mendekati kamu dengan cara menjahili kamu Lia.”
“Tau ah gelap!” ucap Lia cuek.
Bel pulang berbunyi nyaring bertanda jam pelajaran telah usai. Cuaca yang sedemikian panas tak menciutkan niat para siswa SMAN 6 untuk bergegas pulang ke rumah. Anak-anak sudah membereskan buku-bukunya. Sedangkan aku masih berkutat pada buku catatanku lalu sesekali menoleh ke papan tulis.
“Makanya kalau nulis jangan kayak keong donk.” Dengan gemas Rina menjitak kepalaku.
“Duluan ya Yuu, nyokap suruh pulang cepet nih!” Aku hanya mendengus lalu kembali sibuk dengan catatanku. Sementara Lia, Wulan, Nurul dan Nina tetap di tempatnya dan menungguku.
Esok harinya aku berangkat lebih awal ke sekolah, karena jam pertama diisi dengan mata pelajaran kimia yang dibawakan oleh Ibu Tini. Kabarnya guru yang satu ini sangat kejam dan tak punya sifat tolelir. Ibu Tini adalah guru yang sangat tegas, disiplin dan paling rajin ngasih tugas.
“Doorr” ucap ku, sambil menepuk pundak Ummy, teman baruku di kelas X5.
“Iikhh Ayu buat aku kaget saja” ucap Ummy.
“Hehehe, habis kamu melamun sih, masih pagi tau jangan melamun” canda ku.
“Hehehe, iya deh iya bawel” ucap Ummy, sambil tersenyum.
“Memangnya kamu lagi ngelamunin apa sih My?” Tanya ku.
“Aku gak ngelamunin apa-apa kok” ucap Ummy.
“Ah maca ciiihhh?” Ucap ku menggoda Ummy.
“Iya bener kok” jawab Ummy.
“Teeeeeeet… Teeeeeeet…” (tak lama bel sekolah pun berbunyi)
“Eh udah bel tuh, masuk yuk” seruku lalu menuju ke kelas dengan menggandeng tangan Ummy.
Pemandangan kelas pagi ini nampak rapih, tak ada suara gaduh, tak ada yang wara-wiri, semuanya duduk rapih di tempatnya masing-masing.
“Kalau bukan Ibu Tini yang masuk gak mungkin kelas setenang ini.” ucapku sambil tersenyum geli
“Ya iyalah, secara kelas ini adalah kandang tikus, lho tau sendiri kelakuan anak-anak X.5 gimana. Kalau gak ada si kucing yang datang gak mungkin si tikus-tikus calm down begini, hahaha.” jawab Lia pelan sambil tertawa kecil.
Detik demi detik kami lalui dengan hati yang berdebar-debar, seperti bom waktu yang menunggu waktu untuk meledak. Yah, aku sedang membayangkan tentang kebiasaan ibu Tini yang selalu menyuruh murid mengerjakan soal di papan tulis secara bergiliran.
“Semoga aja bukan gue, ya Tuhan plisss!!” ucapku dalam hati.
Satu persatu nama teman-teman ku mulai dipanggil. Beberapa temanku harus ihklas berdiri di samping papan tulis karena tak bisa mengerjakan tugas yang diberikan.
Belum sempat selesai berdoa, tiba-tiba saja aku mendengar sura lantang Ibu Tini menyebut namaku.
“Ayu, naik ke atas kerjakan soal nomor 5 yah”
Dan kali ini lagi-lagi Tuhan tak mengabulkan doaku. Ibu Tini akhirnya menyebut namaku. Aku berjalan ke depan dengan langkah kaki yang pelan, rasanya seperti ada sebuah batu besar yang bergelantung di kakiku. Sebenarnya bukan takut yang aku rasakan tapi lebih pada rasa malu jika harus berdiri bersama dengan anak lainnya. Bagaimana tidak, ada puluhan murid yang bakal menontonku.
“Cepat dikerjakan Yuu” ucap ibu Tini.
“I…i…iya bu” sahutku sambil mengangguk.
“Teeettt… Teeeeettt…” Saat hendak menulis, terdengar bunyi bel pertanda jam istirahat pertama. Aku menarik nafas panjang, aku lega sekali mendengar suara bel itu.
“Baiklah anak-anak, minggu depan ibu sambung lagi. Sekarang buka halaman 154 dan kerjakan soalnya..” ucap Ibu Tini sembari menunjukkan soal yang akan menjadi tugas minggu depan. Tugas adalah wajib setiap kali ada mata pelajaran kimia, itulah ibu Tini, bidadariku yang paling baik hati.
Setelah Ibu Tini keluar dari ruangan aku pun kembali ke tempatku sambil jingkrak-jingkrak kegirangan.
“Alhamdulillah ya… hehehe” ucap Lia sambil cengengesan. Aku hanya tersenyum lebar mendengarnya.

*****
Setahun sudah berlalu dan sekarang aku resmi menyandang status “SENIOR”, eitss tapi aku bukan tipikal senior yang gila hormat seperti kebanyakan murid di sekolahku.
Setelah bel istirahat berbunyi, aku segera mengambil dompet dalam tas. Aku, Nina, Rina, Nurul, Wulan dan Lia pergi ke kantin favorit kami yang terletak di belakang musholla sekolah, Hendak memberi makan cacing-cacing yang mulai berdemo ria sekaligus membicarakan soal issu yang yang baru saja membuatku kesal gak ketulungan. Sayang sekali Nia, temanku ku dari sd gak bisa ikut bergabung, dia ditempatkan di sekolah yang lumayan jauh dari sekolah kami, lantaran jumlah siswa yang diterima di SMUN 6 terbatas.
Enam sekawan ini, memang hobi sekali jajan bakwan, hampir setiap hari kalau lagi istirahat jajannya itu melulu. Enggak ada bosen-bosennya deh. bahkan seringkali aku membawa makanan ini pulang ke rumah. Bakwan adalah menu andalan di kantin kesayangan kami itu. Tempat yang paling asyik kalau lagi jajan bakwan yah di kantinnya Mbak’yu, dan duduk di bangku yang dekat jendela. Hmm… sembari mengademkan diri. Mbak’yu adalah panggilan akrab kami pada pemilik kantinnya.
“Mau pesen bakwan kan?” teriak Mbak’yu.
“Mbak’yu, paranormal ya?” tanyaku serius.
“Bukan… bukan..” jawabnya.
“Memang kenapa gitu Yuu ?” tanya Nurul kepadaku.
“Mba ini, udah tahu kalau kita mau makan bakwan” ucapku.
“Haha, dasar oon!!!, ya iya lah, kita kan sering ke kantin buat jajan bakwan” Celoteh Rina.
“Hahaha..” terdengar tawa sahabat-sahabatku yang saling bersahut-sahutan.
“Ihh, kenapa kalian jadi ketawa sih?” gerutuku kesal.
“Abisnya kamu ituuu..” ucap Rina.
“Kamu apa?” tanyaku semakin kesal.
“Sudah… sudah, jadi nggak pesen bakwannya?” tanya Mbak’yu yang ikut kesal.
“Hehehe… jadi donk, aku pesen 5000 yah.” Seru ku.
“Yaa, tunggu sebentar..” jawab pelayan kantin sambil berlalu.
“Kok banyak amat sih, Na?, emang mau dimakan semua sekarang?” tanya Wulan.
“Iya donk” jawab ku dengan ekspresi datar.
“Glek..” Wulan hanya menelan ludah mendengar, pesananku sebanyak itu
Beberapa saat kemudian, bakwan pesanan kami pun datang. Tak perlu menunggu lama aku segera menyantap bakwan dengan campuran sambel dan kecap yang sudah aku racik sedemikian rupa.
“Kok kalian semua, ngeliatin aku sih? Ada yang aneh ya?” tanya ku sambil melotot ke mereka.
“Udah berapa hari nggak makan, Yuu?” tanya Nurul dengan mata sedikit terbelalak menyaksikan ku yang makan begitu rakusnya.
“Tadi pagi juga sarapan kok” ucap ku dengan ekspresi datarnya sambil terus makan. Tak ada kata yang mampu diucapkan teman-temanku lagi, mereka hanya bisa menggeleng-geleng kepala ke kiri dan ke kanan beberapa kali, dan melanjutkan menyantap bakwan hingga tak tersisa.
“Mungkin kita harus buat program deh!” ucap Nurul.
“Program apa?” tanya Nurul.
“Program diet untuk Ayu” jawab Lia.
“Ah kamu ini, buat aku sensi aja sih” timpal Nurul yang kebetulan punya tubuh yang agak lebih gemuk dibanding aku.
Aku yang sedang menikmati air mineral dinginku, kemudian tersedak. “Uhuk… Uhukkk..” Wulan terlihat menepuk-nepuk pundakku.
“Wahh, iya… boleh juga tuh” timpal Wulan.
“Aku nggak setuju ah” jawabku sambil memegang lehernya.
“HA… HA… HA… maaf deh maaf, lupa” seru Lia dan dengan spontannya mencium pipi Nurul. Sementara itu Ummy terus mencubit pahaku, membuatku teriak-teriak kesakitan.
Kebiasaan aneh Ummy ini sudah ada sejak aku pertama kali bertemu, Ummy akan spontan mencubit seseorang yamg ada di dekatnya jika ia merasa lucu. Semua sahabatku sudah biasa dengan kebiasaan aneh Ummy itu.
Seketika suasana kantin jadi riuh dengan canda tawa kami. Setelah menghabiskan makananku, aku dan yang lainnya tak lantas pergi, kami masih duduk di tempat kami masing-masing. Mata pelajaran kedua lagi kosong karena gurunya sedang berhalangan, jadi kami masih bisa santai di kantin.
Konfrensi meja bundar pun digelar. Kantin ini jadi saksi Rencana besar kami. EZQUEL pun mulai menyusun rencana serangan. EZQUEL adalah nama genk yang kami resmikan sebagai nama genk persatuan kami. Aku bersyukur dipertemukan dengan sahabat-sahabat seperti mereka, Mereka adalah pasukan terhebat yang aku miliki. Tidak hanya hebat dalam hal gosip-menggosip, mereka juga paling jago dalam hal serang-menyerang. Dua orang sahabatku Nina dan Lia adalah yang paling sensitif saat ada perkara. Nina dengan tubuhnya yang mirip bodyguard dan ucapannya yang setajam silet bisa membuat hati seseorang terobek-robek, lalu Lia yang meskipun tubuhnya yang kurus kayak tengkorak hidup tapi nyalinya sebesar lapangan basket sekolah, dia paling hobby tuh adu mulut, Kalau lagi marah bisa seperti harimau buas yang siap mencincang. Dua gadis itulah yang menjadi team pembela saat salah seorang di antara kami terlibat masalah, tapi dibalik sikap mereka itu ada hal lain yang paling membanggakanku yaitu kesetiakawanan mereka, Bagiku sifat itu adalah harta mereka yang paling aku kagumi. Itulah alasan kenpa aku tetap bertahan bersama mereka, meskipun aku selalu jadi sasaran kejahilan mereka.

“Yuu, gimana? kita langsung labrak aja lah sekarang!” Tanya Nina dengan tampang seperti serigala yang sedang marah. Aku saja takut melihat wajahnya yang mulai memerah.
“Iya, tapi janji yah kamu jangan maen tangan yah, perang mulut aja lah! Bisa buat dia takut aja udah buat aku puas banget, na.”
“Ok siiip!!”.
“Cewek itu memang gatal tau. Gaplok aja sekalian. Udah tau si Andy udah punya pacar masih saja keganjenan, trus mau aja gitu dijadiin cadangan”. Sahut Nurul yang paling jago dalam hal ngomporin orang.
“Iya betul. Wajib dibasmi tuh kutu ganjen”. Balas Ummy
Akhirnya setelah konfrensi kami selesai, Aku dan sahabatku kemudian janjian ketemu dengan cewek itu di belakang kelas XI 4 yang sengaja kami pilih karena letaknya pas di samping kelas kami. Sebut saja dia Ria.
Tak lama kemudian Ria pun datang dengan salah seorang temannya, dengan langkah kaki yang mendayu bagaikan seorang model.
“Ria, aku mau nanya dan gak pake bohong yah?”. Tanyaku dengan nada suara yang agak tinggi.
“Mau Tanya apa?” jawab Ria dengan santainya
“Apa benar kamu jadian sama Andy?”
“Gak kok! gak sama sekali.”
“Ngaku aja lah! Kabar yang aku peroleh gak mungkin omomg kosong!! sudah beberapa hari ini issu itu sering aku dengar dari temen-temen. Well, kebakaran gak akan terjadi kalau gak ada api. Kamu tau kan aku sekarang masih resmi jadi pacarnya Andy dan hampir seisi sekolah tau itu.” Seruku sambil mendekatkan wajahku ke wajah Ria.
“Beneran gak kok” ucap Ria ngeles.
Aku dan sahabat-sahabatku terus mendesak tapi jawabannya tetap tidak. Tak lama kemudian, “Plakkk..!!!” sahabatku Nina ternyata tak menepati janji, Ia mulai hilang kendali dan menerjunkan tamparan cantiknya ke muka cewek itu. Pipi kanan Ria merah dengan bekas tangan Nina, dan wajahnya pun mulai memucat. Sebenarnya ada sedikit rasa iba melihatnya takut. Tapi rasa itu tertutupi oleh kekesalakanku padanya.
“Ini kekerasan.” Teriak teman Ria yang datang menemani Ria saat itu. Aku tak bisa menangkis tangan Nina yang secepat kilat. Aku tahu perasaan Nina yang simpatik padaku, tapi sungguh bukan tindakan seperti itu yang aku harapkan.
Nasi sudah jadi bubur, setelah peristiwa tamparan itu Ria langsung melaporkan kejadian itu, dan akhirnya kami diseret ke ruang BP. Saat aku dan Nina sampai di ruangan, disana sudah ada Andy, Ria, Pak Aziz dan murid-murid dari kelas lain yang mulai berdatangan satu persatu seperti semut yang sedang mengerumuni gula.
Saat itu aku merasa seperti berada di ruang sidang yang dihadapkan dengan kasus pembunuhan. Ini pertama kalinya aku dipanggil ke ruangan BP dari sekian banyak kenakalan dan kegilaan yang sudah aku lakukan bersama sahabat-sahabatku, dan itulah konsekuensi yang harus aku pertanggung jawabkan. Hanya aku dan Ria yang dipanggil, temanku yang lain dibebaskan karena mereka hanya ikut menonton saja waktu itu. Masalah ini membuatku merasa seperti ada kotoran sapi yang dilempar kemukaku, aku benar-benar malu, dan bukannya merasa takut. Rasa malu yang hebat karena harus ditonton puluhan siswa karena kasus seperti ini. Kalau saja kasusnya bukan karena masalah cemburu buta mungkin aku gak akan tertunduk terus seperti ini.
“Oh my God this is very embarrassing.” Ucapku dalam hati.
Pertanyaan demi pertanyaan kini dilontarkan kepada aku dan Nina. Tapi aku cuma bisa diam, aku gengsi untuk mengatakan bahwa aku terlampau cemburu saat itu. Aku muak sekali melihat tampang Ria yang pura-pura polos di depan Pak Aziz.
“Andy, sekarang kamu harus memilih supaya kegaduhan dan kekerasan seperti ini tidak terjadi lagi.” Tanya pak Aziz dengan tegas.
“Milih?” ucap Andy bingung dan tampak seperti berfikir sesuatu
“Iya milih, kamu gak mungkin lah poligami sepereti ini. parah banget kamu, Ndy. Baru aja kelas 2 sma udah pinter poligami” kata Pak Aziz menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Masa poligami sih pak, aku kan belum nikah sama mereka”
“Ah kamu ini bisanya protes melulu, sekarang ayo katakan dengan jujur siapa wanita yang paling kamu suka dan kamu pilih” ucap pak Aziz mengulang pertanyaannya lagi.
Andy hanya terdiam menundukkan kepalanya. Dia tak mengucapkan sepatah katapun. Aku mulai merasa aneh, aku melihat sosok Andy bukan seperti pacarku yang sudah aku pacari selama 4 tahun. Aku lesu melihat sikap pengecutnya itu, tulang-tulang ku seakan mendadak remuk.
“Andy, coba dompetnya bapak lihat dulu”
“Hah!! dompet pak. mau diapain?”
“Gak usah nanya, kasih aja dulu” kata pak Aziz sambil memaksa
“Ini pak”
“Hmmmm… Ini foto siapa? Tanya Pak Aziz menunjukkan foto yang terpajang di dompetnya.
Aku melirik untuk mengintip foto yang diperlihatkan oleh pak Aziz yang kebetulan duduk di sampingku. Aku betul-betul penasaran ingin melihat foto yang terpajang di dompet Andy, sudah pasti itu adalah orang spesial buat Andy. Aku mengangkat leherku dan sekali lagi mencoba untuk melihat foto tersebut.
“Oh my god.. thats me!”. Kataku dalam hati. Roh ku seperti melayang ke langit ke tujuh dan kupu-kupu khayalan mulai berterbangan keluar dari dalam hatiku.
“Ayo jawab” tanya Pak Aziz mulai membentak.
“A.a.a.a..ku milih milih Ayu Pak!” sahut Andy terbata-bata.
“Huuuuuuuu…”. Terdengar sorakan dari para murid. Sejak tadi ruangan BP sudah dipenuhi murid-murid yang serius menyaksikan wawancara kami, Ada yang berdiri di depan pintu, ada pula yang mengintip di balik jendela.
Sekali lagi aku katakan bahwa aku inigin sekali terbang ke langit ketujuh, saat Andy mengatakan itu, so sweet. Hihi….
Tuduhan bahwa Andy adalah laki-laki pengecut, aku tarik kembali. Aku akhirnya tau bahwa dia masih lelakiku. Di satu sisi aku memang bahagia karena Andy menyimpan fotoku di dompetnya, tapi di sisi lain aku sangat malu sebab di foto itu aku cuma pakai singlet alias baju tanpa lengan, dan karena kejadian itu pula Pak Aziz harus melihat fotoku dengan keadaan seperti itu. Boro-boro keren, fotogenik pun nggak.
“Nah Ayu, Nina, sekarang minta maaf pada Ria”
Aku dan Nina pun mulai bersalaman sambil mengucap maaf pada Ria, tapi rasa kesal dan cemburu ku masih belum hilang. Entah kenapa hatiku bisa seperti batu bara jika melihat Ria, mungkin ini yang disebut sakit hati karena cinta.
“Ria, gimana! mau kan terima maaf Nina dan Ayu” Tanya pak Aziz.
“Tidak, aku tidak terima pak, aku mau mereka dikeluarkan. Kalau mereka tidak dikeluarkan aku akan lapor polisi karena tindak kekerasan”
Aku tersentak kaget mendengar ucapan Ria, aku menelan air liur ku dalam dalam. Nina lalu menatapku dengan sorotan yang sangat tajam. Kubayangkan ada tanduk merah yang keluar dari kepala Nina. Aku kemudian menggenggam tangan Nina, mencoba meredam emosi sahabatku itu.
“Kamu dengar Ayu, Nina! karena emosi sesat kalian akhirnya kalian harus menanggung resiko seperti ini” Pak Aziz mulai berceramah.
“Bapak tak bisa buat apa-apa, besok baru bisa diputuskan setelah Ibu Bapaknya Ria datang menghadap. Bapak mau tahu keputusan orangtua Ria dulu ”
“Ya sudah kalian boleh ke kelas masing-masing, dan ingat Nina, Ayu, ini adalah kejadian terakhir yang kalian lakukan, Bapak tidak mau dengar ada kekerasan seperti ini lagi. Kalian ini sudah kayak orang kriminal aja..”
“Iya pak” sahut ku, berbarengan dengan Nina.
Aku dan Nina kemudian berdiri dan segera keluar dari ruang BP. Di belakangku ada Andy yang terus mengikutiku dan berusaha meminta maaf karena kesalahnnya itu, tapi aku berpura-pura tak mendengarnya dan tetap sibuk berbincang dengan Nina sambil berjalan menuju kelas kami. Dari jauh kulihat sudah ada Lia, Nurul dan Ummy yang menanti kami di depan kelas.
“Gimana tadi? kalian gak diskors kan?” tanya Lia dengan mata melotot.
“Lebih buruk dari itu malah!!
“Kami diancam di DO dari sekolah, tapi keputusannya masih besok” seru Nina ikut menjelaskan.
“Gila yah tu Ria, sadis amat, seenaknya saja dia mau depak kita keluar. Emang dia fikir dia itu siapa?” gerutu Ummy.
“Sabar yah Na, ini semua gara-gara aku. Nanti aku akan coba bicara sama pak Aziz agar dia tidak menghukum kamu, Na. Biar aku saja yang keluar, kan masih banyak SMA lain. Aku yang salah sudah mengikutkan kamu dalam masalahku ini. Kalau saja aku tidak beritahu kamu pasti gak akan seperti ini kejadiannya.”
“Ya gak gitu juga Yuu, kalau kamu di DO aku juga akan keluar, aku yang salah karena tak bisa menahan emosiku. Lagipula aku puas kok, dia pantas dapet tamparan dariku, siapa suruh gangguin pacar sahabat ku tercinta, he he he. “We are best friend forever Yuu, and no body can hold it.”
Nina kemudian merangkulku, disusul dengan sahabatku yang lain, dan kami pun berpelukan layaknya teletubbies. Airmataku yang kutahan sejak tadi kini tak terbendung lagi, perlahan-lahan memenuhi mukaku. Aku menangis terharu mendengar ucapan Nina barusan.
Tapi pada akhirnya keadaan malah berbalik dan dewi fortuna berpihak kepada kami. Aku dan Nina tak jadi dikeluarkan dari sekolah. Menurut kabar burung yang aku dengar, Ria malu mendengar sindiran-sindiran halus mengenai dirinya karena pernyataan Andy saat itu yang ditonton banyak orang, makanya dia memutuskan untuk pindah sekolah, hingga keesokan paginya Ibu Ria pun datang untuk mengambil surat pindah untuk Ria.
Aku turut sedih mendengar keputusan Ria tersebut, tapi ya itulah keputusan yang sudah dipilihnya. Kenyataannya dia harus meninggalkan SMUN 6 dan pindah ke sekolah lain. Aku berharap suatu saat jika aku kembali bertemu dengan Ria, hatiku sudah berdamai dan dia tak menganggapku musuh lagi. Kejadian ini adalah pelajaran berharga yang tak akan terlupakan dan akan kujadikan catatan sejarah dalam buku hidupku.

Finally, dengan beberapa kegilaan yang kami lakukan, kami tak pernah sekalipun menyesal akan hal itu. Kami menganggap, kami telah berhasil membuat sisa waktu kami di bangku putih abu-abu menjadi seperti pelangi yang penuh warna
And then “Mission completed!”
Kata orang pertemuan merupakan awal dari perpisahan, kini tiba saatnya hari perpisahan kami. Alhamdulillah kami semua lulus.
Setelah melihat pengumumuan kelulusan yang bertempat di kantor polisi tepat di depan rumahku, kami tak langsung pulang ke rumah. Aku dan sahabatku berencana merayakan kelulusan kami dengan acara makan-makan di rumah Nurul. Kami mengundang semua teman sekelas kami, Saat itu Andy juga kami undang. Walaupun aku dan dia sudah putus, tapi aku masih menganggapnya sahabat. Aku memutuskan mengakhiri hubunganku dengan Andy karena saat itu aku punya pria idaman lain yang akhirnya malah membuatku menyesal meninggalkan cowok sebaik Andy.
Acara kami berlangsung menyenangkan dengan suara riuh oleh candaan dari teman–teman lainnya, kebersamaan kami ini membuat kami berat untuk pulang ke rumah masing-masing. Kegembiraan yang mulanya menghias nuansa indah kebersamaan kami, tak lama kemudian berubah menjadi suasana yang mengharukan ketika satu persatu teman-temanku pamit untuk pulang ke rumah mereka. Kami pun larut dalam kesedihan hari ini, tanpa sadar akhirnya aku dan sahabatku pun menangis. Tak kusangka waktu tiga tahun selama ini, harus aku lepaskan dalam waktu sehari saja. Kami harus angkat kaki dan rela meninggalkan sekolah, tempat kami mengukir pengalaman indah kami. Ketika pertama kali memulai kisah SMA bersama mereka, tak terbayang kalau saat ini aku pun harus ikhlas berpisah dari sahabat-sahabat gokil ku itu, dan tak bisa kupungkiri betapa beratnya ku lambaikan tangan pada mereka.
“Kita harus tetap saling komunikasi yah!! ucap Lia sambil berlinang air mata.”
“Pasti...pasti” jawabku, lalu aku dan sahabatku yang lain pun memeluk Lia dengan isak tangis.

Dan aku yakin, didalam hati teman-temanku itu sama dengan isi hatiku. Bahwa kami adalah saudara, dan akan terus menjadi saudara sampai kapanpun….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar